Di bawah hukum Indonesia, para pengungsi tidak diizinkan untuk bekerja. Mereka juga tidak memiliki akses ke layanan dan bantuan sosial dari Pemerintah Indonesia, dan mereka tidak dapat melanjutkan pendidikan karena sebagian besar sekolah dan universitas di Indonesia tidak mau menerima mereka.

​

PBB memperkirakan bahwa per Juni 2019, Indonesia telah menjadi tuan rumah bagi hampir 14.000 pencari suaka yang berasal dari Afghanistan, Irak, Myanmar, Sudan, Somalia, dll. Para pengungsi ini melarikan diri dari negara mereka karena perang saudara dan atau konflik yang mengancam nyawa mereka. Sekitar 30 persen dari mereka adalah anak-anak, 1 persen adalah orang lanjut usia, dan sisanya adalah penyandang disabilitas dan penyakit kronis.

​

Indonesia bukan penandatangan Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, yang berarti bahwa Indonesia hanyalah negara transit bagi para pencari suaka yang ingin tinggal di negara-negara yang menandatangani Konvensi tersebut. Masalah timbul ketika negara-negara tersebut menolak untuk memenuhi komitmen mereka terhadap Konvensi dalam menerima pengungsi - yang diperkirakan dipengaruhi oleh meningkatnya nasionalisme dan xenophobia yang ekstrem. Hal itu menyebabkan para pengungsi untuk tinggal di Indonesia selama bertahun-tahun, tanpa pekerjaan, akses ke pendidikan, perawatan kesehatan, rumah, dan kepastian.